Cerita Terakhir Keken
Cerita Terakhir Keken
Cerpen oleh Berrye T.
Pria tua itu duduk di atas kursi malasnya yang berukiran naga itu, sementara tangan kanannya mengelus-elus ujung kursi. Rambutnya yang sudah beruban itu ditutupi topi baret berwarna kuning, khas veteran perang. Mulutnya yang keriput digerogoti usia mulai berkomat-kamit dan bercerita tentang perjuangannya di medan perang. Dialah Kakek Keno, namun semua cucunya, termasuk aku memanggilnya dengan Keken.
Sudah jadi rutinitas kami setiap dua atau tiga tahun, kami semua berkumpul di rumah Keken untuk merayakan kemerdekaan bangsa dengan cara kami sendiri; makan bersama, lalu acara yang paling kami tunggu adalah mendengarkan Keken bercerita tentang pengalamannya berperang di medan perang.
“Waktu itu, Keken masih remaja. Belum tamat Sekolah Rakyat. Teman-teman Keken sudah banyak yang ikut latihan perang. Ya, namanya juga anak remaja, pasti tidak mau ketinggalan. Kalau kalian sekarang gagah-gagahannya naek motor atau mobil, dulu lain. Kalau sudah bisa pegang senjata, wah itu sudah keren sekali. Gadis-gadis bakal jadi tertarik. Haha,” cerita Keken sekian tahun kemarin, kala semua cucu-cucunya masih kecil-kecil. Cerita Keken tentang perjuangannya di medan perang seperti sebuah film yang terbagi dalam beberapa episode. Kami harus menunggu dua atau tiga tahun lagi untuk mendengarkan lanjutan cerita Keken.
Keken sendiri punya dua anak, Om Jey dan ayahku, Rendra. Keken sudah ditinggal mati nenek beberapa tahun sebelumnya. Sehari-hari Keken dilayani oleh seorang kerabat keluarga di kampung. Praktis, kami sekeluarga besar hanya bertemu pada kesempatan-kesempatan tertentu saja. Om Jey tinggal di kota yang lumayan jauh bersama istrinya, Tante Rina dan kedua anaknya, Zul dan Zaenab.
Kala itu, Marto, adikku adalah cucu Keken yang terlihat paling serius mendengarkan cerita Keken. Dia bahkan selalu mengulang-ulang cerita Keken saat kami kembali dari rumah Keken. Kadang, dia suka menggambar Keken yang sedang berperang dengan versinya sendiri di atas buku gambarnya lalu ditempelkan di dinding kamarnya. Mungkin di mata Marto, Keken dan Soekarno, presiden pertama bangsa ini punya level yang sama.
Tahun-tahun berikutnya, kala kami semua dapat berkumpul kembali di rumah Keken, cerita Keken semakin menarik untuk didengar.
“Waktu itu, kami latihan pakai kayu saja. Berbaris, cara berlari sampai menggunakan senapan. Tidak semua remaja diperbolehkan pegang senjata. Hanya mereka yang sudah mahir dan punya otot yang kuat saja yang bisa pegang senjata. Termasuk kakek, haha,” ceritanya Keken waktu itu.
Ayah, ibu, Om Jey dan Tante Rina pun duduk mendengarkan Keken bercerita. Sesekali mereka merekam dan mengambil gambar menggunakan ponsel mereka.
“Kapan Keken pergi berperang untuk pertama kalinya?” tanya Marto.
“Saat Keken sudah pacaran sama nenek kalian. Haha,. Padahal lagi cinta-cintanya. Tapi Keken harus pergi berperang. Keken adalah prajurit remaja yang sangat diandalkan komandan Jupli. Tugas Keken waktu itu masih yang ringan-ringan saja, membawa tas berisi peluru. Beratnya minta ampun. Kami pergi subuh sekali, waktu semuanya masih tidur. Komandan Jupli memimpin kami sembahyang, lalu kami berjalan menyusuri bukit. Saat matahari sudah terbit, kami sudah di tepi hutan, persis di jalan musuh lewat. Kami semua disuruh tiarap. Lama. Tak boleh bersuara. Dua prajurit dewasa bersembunyi di balik pohon kapuk besar sambil memegang senjata,” cerita Keken.
“Ngapain Ken?” tanya Marto.
“Pasti buat nembak musuh , iya kan Ken?” potong Zaenab.
Keken mengangguk.
“Iya. Mobil jeep musuh lewat. Ada dua. Yang satu warnya hijau gelap. Ada kacanya. Di belakang, jeep terbuka. Kira-kira lima orang musuh ada di dalamnya. Dan dooooorrr!”
Kami semua kaget, lalu tertawa.
“Mati?” kejar Zul.
“Berapa yang mati, Ken?” tanya Marto.
“Satu ya Ken?” timpal Zul.
“Hus! Berisik! Biar Keken saja yang cerita. Jangan dipotong!” bentakku saat itu.
Cerita Keken terus mengalir dan semakin menegangkan. Namun, harus terpotong karena kami harus pamit pulang. Kata ayah, biar menghindari macet. Keken masih terlihat bersemangat untuk bercerita namun kami semua harus pulang.
“Ya, nanti tahun depan baru lanjut lagi ya cu, biar kalian tetap datang ngunjungi Keken di sini,” pesan Keken melepaskan kami pergi.
“Tahun depan, ceritanya bakal lebih seru lagi. Keken punya satu cerita yang paling menegangkan buat kalian. Ini akan jadi cerita terakhir dari Keken, tapi masih lama,” sambung Keken dari luar mobil.
Di dalam mobil, seperti biasa Marto sudah mulai mendramatisir cerita Keken, layaknya Rambo.
“Seru ya cerita Keken? Kalau aku besar, aku mau jadi tentara saja!” celetuk Marto.
“Tentara? Mana ada tentara bangunnya siang melulu? Habis ditembak musuh nanti!” ledekku sembari tertawa.
Ya, cerita Keken perlahan menjadi semacam inspirasi buat kami semua cucunya. Zul bercita-cita jadi polisi, Zaenab ingin jadi polwan. Dan Marto, ingin jadi marinir. Sementara aku sempat bercita-cita jadi pilot pesawat perang.
Tahun berikutnya kami tak bisa berkumpul bersama. Bisnis ayah lagi sibuk-sibuknya, sementara Om Jey masih sibuk dengan pekerjaannya di bagian ekspor kayu. Aku, Marto, Zul dan Zaenab bakal tak punya lanjutan cerita lagi dari Keken. Namun, beruntung bahwa beberapa tahun kemudian kami bisa berkumpul bersama lagi. Saat itu, Keken semakin tua, dan renta. Namun semangat Keken untuk bercerita selalu membara walau mulutnya kini menjadi lebih gagap karena gigi yang tak lagi banyak.
“Malam itu, pertama kalinya Keken pegang senjata. Keken sangat gugup. Keken belum siap untuk menembak musuh. Namun Keken harus siap dan berani. Kata mata-mata kami, musuh bakal lewat dengan dua kompi pakai mobil truk terbuka. Kami memotong dahan-dahan kayu dan membentangnya di tengah jalan. Tengah malam, sebuah mobil truk terdengar dari jauh. Komandan Jupli membangunkan kami. Bangun! Bangun! Mereka datang, katanya. Keken masih ngantuk waktu itu. Tugas Keken, menembak musuh, titik! Lalu mobil truk itu berhenti. Tapi mereka tidak keluar. Mungkin mereka tahu ini jebakan. Mobil itu mundur dan hendak kabur. Serang! Tembak! Teriak Komandan Jupli. Keken yang masih gugup lari ke bawah. Senjatanya hampir jatuh. Keno, tembak! Sebelum mobilnya pergi! Teriak Komandan Jupli. Keken akhirnya menembak juga. Dessh!” jedanya bercerita untuk meneguk air minumnya.
“Kena Ken?” kejar Marto.
“Pastilah! Keken kan hebat!” timpal Zul.
“Langsung mati?” tanya Marto lagi.
Keken mengatur nafasnya. Semua mata tertuju padanya, menunggu cerita berlanjut.
“Pertama kena kaca mobil. Meleset rupanya. Musuh keluar dari mobil juga. Mereka siap-siap membalas tembakan kami. Keken kokang lagi senjatanya, sambil gemetaran. Kali ini Keken tidak mau meleset lagi. Dan, Dessssssssshh! Kena satu. Jatuh! Keken semakin gemetaran, takut. Tapi Komandan Jupli nampak senang. Kamu hebat, Keno, pujinya waktu itu. Tapi, …”
“Tapi, apa Ken?”
Keken berhenti sejenak. Pandangan matanya diarahkan ke atas, ke langit-langit rumah. Diam sebentar.
“Waktu Keken berdiri di situ, tiba-tiba saja sebuah tembakan berbunyi lagi. Jelas itu bukan dari senjata Keken. Kaki Keken tiba-tiba saja terasa dingin dan sakit, rasanya seperti kesetrum. Keken menjerit. Lalu jatuh, roboh di jalan. Mobil musuh itu lalu pergi begitu saja, membawa satu teman mereka yang Keken tembak,”
“Jadi, Keken tertembak?”
“Iya, di kaki kanan! Dalam sekali lukanya. Darah keluar seperti air mancur. Keken takut mati waktu itu. Keken teriak-teriak nama nenek kalian. Keken ingat nenek, dan Keken takut mati, sungguh!” suara Keken semakin dalam.
“Lalu?” tanyaku penasaran.
“Kaki Keken diikat dengan tali sepatu. Keken diboyong menuju kampung terdekat. Beruntung nyawa Keken masih tertolong,”
“Lalu Keken tak berperang lagi?” Keken menggelengkan kepalanya.
“Keken tetap ikut berperang, meski kaki Keken masih nyeri,” tutup Keken malam itu sebelum kami pamit pulang.
Keken mengantar kami sampai di depan teras rumah dengan tongkat di tangan kanannya, membantu kaki kanannya yang memang tak sempurna melangkah akibat terkena tembakan musuh.
“Tak terasa, cerita Keken hampir selesai. Dan kalian sudah mendengar semuanya. Tapi, Keken masih punya satu cerita lagi, dan ini yang paling hebat. Kalian harus mendengarkannya,” pesannya di depan kami semua. Keken nampak sangat serius, mungkin cerita terakhirnya memang benar-benar yang paling berkesan, hebat dan luar biasa.
“Tapi, kali ini ada syaratnya,”
“Apa Ken?”
“Kalian harus berusaha mewujudkan cita-cita kalian! Zul, kamu harus jadi polisi. Zaenab, kamu harus jadi polwan. Marto, marinir! Dan kamu, harus jadi pilot pesawat tempur!” ujarnya padaku.
Keken memang sudah tahu cita-cita kami masing-masing. Tapi, menjadi seorang pilot pesawat tempur itu tidak mudah! Untuk aku yang paling gagap soal hitung-hitungan matematika, menjadi pilot pesawat tempur bukanlah cita-cita yang gampang diraih. Terlampau sulit!
Tahun-tahun berlalu. Dan entah mengapa, kata-kata Keken begitu berpengaruh waktu itu. Kecuali aku yang gagal jadi pilot, Zul, Zaenab dan Marto berhasil mewujudkan cita-cita mereka. Aku sendiri lebih suka membuka usaha toko paintbal, semacam olahraga perang-perangan. Ya, tak jauhlah dengan perang, kataku menguatkan hati.
Dan, hari itupun tiba. Kami menjadi begitu antusias dengan cerita Keken kali ini. Ini semacam sebuah film panjang yang sudah kami mulai sedari kecil hingga dewasa. Bisa jadi ini adalah adegan klimaks dari film itu sendiri, film yang dibintangi dan disutradarai sendiri oleh Keken.
Malam itu, kami semua berkumpul di ruangan tengah. Keken berpakaian seragam veteran lengkap dengan topi peci kuningnya. Om Jey memapah Keken duduk di kursi malasnya. Semua hening.
“Malam ini, mungkin akan menjadi cerita terakhir dari Keken, menjadi penutup dari semua cerita Keken,”
“Lalu, setelah cerita ini, apa yang akan kami dengar lagi, Ken?” tanya Marto.
“Keken tidak akan bercerita lagi, giliran kalian lah yang bercerita untuk Keken,” balas Keken. Kami semua nampak memahami.
“Sebenarnya, Keken tidak pernah pergi berperang,”
Kami semua terdiam, mencoba memahami kalimat Keken, dan menunggu kalimat selanjutnya dari Keken.
“Maksud Keken?”
“Ya, Keken tidak pernah pergi berperang. Semua cerita Keken itu tidak benar,”
“Jadi, maksud Keken?”
“Tapi, Keken tidak berbohong,” lanjut Keken, dan kami semakin bingung.
“Sebenarnya, Keken bukanlah seorang prajurit. Keken hanyalah seorang pembantu perang, mungkin itulah istilahnya. Keken tidak pernah berada di garis depan untuk berperang. Waktu itu, Keken sudah sangat siap untuk berperang. Namun sebuah kecelakaan kecil telah mengubah semuanya.
Ketika sedang latihan berlari di bukit, Keken jatuh dari tepi bukit hingga ke dasar kali. Sebuah batu besar lalu menghimpit kaki Keken. Keken tak bisa berjalan normal lagi. Keken putus asa. Tapi Komanda Jupli memberi Keken tugas baru, dari tukang masak, pengantar obat-obatan dan surat hingga menjadi mata-mata. Setelah merdeka, Keken ditawari menjadi petugas pos, dan Keken terima itu untuk menghidupi nenek, Jey dan Rendra,” jelasnya sembari matanya berkaca-kaca.
“Jadi semua cerita Keken itu bohong?” kejar Marto.
“Keken tidak berniat membohongi kalian, cu. Ketika kalian masih kecil, Keken bercerita demikian agar kalian tertarik untuk datang, dan datang lagi mengunjungi Keken. Namun semakin kalian dewasa, Keken pun sadar, kalian tak pantas lagi untuk didongengkan,”
“Tapi, mengapa Keken?” tanya Zul, sedikit marah.
“Apakah kalian bangga punya kakek pejuang yang hanya bertugas sebagai tukang masak? Tukang antar obat dan surat serta mata-mata? Yang ada di dinding kelas adalah foto pejuang hebat yang turun ke medan perang, mengangkat senjata dan berperang,”
Ayah berdiri dari kursinya.
“Kami sudah tahu itu, Yah,” Keken terkejut, lalu mendongkakan kepalanya.
“Semua teman-teman ayah bercerita tentang hal yang sama tentang ayah; seseorang yang luar biasa! Cekatan, gesit, berani dan tukang masak yang handal! Kata mereka, kalau tanpa ayah mungkin mereka sudah mati di dalam hutan sana, kelaparan, dan ditembak musuh. Mereka juga bercerita bahwa ayah pernah ditangkap dan disekap di penjara karena nekat menyelinap di markas musuh untuk mencuri senapa dan obat-obatan, bukan?”
Raut wajah Keken nampak berbeda, terkejut namun antusias.
“Kami selalu bangga punya Keken. Meski foto ayah tidak ada di dinding kelas sebagai pahlawan, ayah tetaplah menjadi pahlawan keluarga ini!” ujar ayah sembari mendekat, memeluk tubuh kurus Keken.
Satu persatu kamipun bangun, memeluknya erat bersama cerita terakhirnya.
“Keken adalah pahlawan kami,” bisikku pelan.
Keken membalas pelukan kami, begitu erat.
“Keken rindu nenek,” bisiknya kecil.
Waibalun, 21/08/2021; untuk Keken.