SEJARAH

Sekilas Tentang Sejarah Gading Gajah Dan Moko Yang Menempati Posisi Penting Di Flores Timur Dan Alor

Sekilas Tentang Sejarah Gading Gajah Dan Moko Yang Menempati Posisi Penting Di Flores Timur Dan Alor

Sekilas Tentang Sejarah Gading Gajah Dan Moko Yang Menempati Posisi Penting Di Flores Timur Dan Alor
Gading Gajah dan Moko

REINHA.com – Gading gajah dan moko atau nekara (gendang) perunggu menempati posisi sosial dan ritual yang begitu penting dalam kehidupan sebagian besar masyarakat di Indonesia bagian timur.

Kedua objek ini dikaitkan dengan ide-ide tentang otoritas, hujan dan kesuburan, dimana ide tersebut dikatakan diadopsi dari wilayah India dan Asia Tenggara.

Hal ini tentu saja bisa terjadi jika ada hubungan kerja sama yang panjang. Dalam dokumen perusahaan India Timur Belanda (Nederlands(ch)-Indië) atau VOC dan tradisi lokal memberikan bukti tentang peran kerajaan Jawa Majapahit, suku Aceh dan Gowa (Makasar) melalui perdagangan rempah-rempah di dunia Internasional. Perdagangan ini melibatkan berbagai jenis rempah-rempah Indonesia (cengkeh, pala, bunga pala), kayu aro (kayu manis, cendana), dan produk kayu (kulit penyu).

(Baca juga: Topass, Kekuatan Portugis Dalam Keluarga Da Costa Dan Hornay)

Gading gajah dan nekara perunggu sebagai komoditas perdagangan dapat ditelusuri jauh ke masa lalu ke peradaban yang sangat awal. Dimana gading diukir menjadi gelang dan juga digunakan untuk karya pengabdian religius.

Menurut beberapa catatan, jarang sekali isi dari gading dipertahankan secara utuh. Ketika hal itu terjadi biasanya dikaitkan dengan “Gajah Agung”.

Kettledrum (sejenis drum) perunggu dalam berbagai ukuran dan bentuk ‘akomodasi’ lain memiliki asal kuno dan dapat ditemukan tersebar di seluruh China Selatan dan Asia Tenggara.

Sementara mereka berfungsi sebagai instrumen musik di beberapa komunitas, di komunitas lain mereka disimpan sebagai objek berharga untuk ditampilkan pada kesempatan yang mulia.

Di pulau-pulau Indonesia bagian timur seperti Nusa Tenggara Timur (NTT) dan di selatan Maluku ada masyarakat tertentu yang sangat menghargai gading gajah yang belum dipahat dan atau drum perunggu sebagai hal penting.

Gajah tidak ditemukan di pulau-pulau ini, begitu juga dengan drum perunggu, namun dalam prakteknya barang-barang ini dibutuhkan dalam perkawinan dan hal tersebut terjadi sampai saat ini.

Kerajaan Sriwijaya

Pusat-pusat redistribusi utama di Asia Tenggara untuk rempah-rempah terjadi pada masa kerajaan Sriwijaya (sekitar abad ketujuh hingga sebelas) di Sulawesi Selatan, Melaka (sekitar 1.400-1511), kerajaan Majapahit di Jawa Timur (akhir abad ke-13 hingga awal abad ke-16) dan kerajaan kembar Makassar dari Gowa-Tallo (abad keenam belas hingga kedelapan belas) di semenanjung barat daya Sulawesi.

Salah satu pemberhentian di sepanjang rute perdagangan itu adalah Bantaeng, di pantai selatan pulau Sulawesi, tepat di seberang pulau Salayar.

Sriwijaya saat itu menempatkan posisi kejayaannya, dimana pedagang Arab dan peziarah China mengatakan sebagian besar kejayaanya diperoleh dari perdagangan rempah-rempah.

Perpindahan langsung gagasan atau ide-ide dari India ke Indonesia bagian timur adalah melalui kerajaan kembar mahajaya Goa-Tallo, menyumbang beberapa ide, salah satunya yang paling penting adalah pandangan tentang Hindu-Budha.

Kerajaan Majapahit

Dalam kitab jawa yang ditulis di era Majapahit oleh Mpu Prapanca pada tahun 1365, terdapat daftar dari pulau-pulau dan semua negara yang mencari perlindungan ke Majapahit. Di antara tempat-tempat yang terdaftar secara langsung dan relevan dengan tulisan ini adalah Sumbawa dan Bima (di Pulau Sumbawa), Bantaeng, Salayar, dan Makassar, Galiyao (Alor Pantar), Solor, Seram, Timor, Banda, Ambon, Maluku, dan Onin (di Papua).

Sebagian besar ahli sepakat bahwa hubungan tersebut merupakan hubungan ekonomi, meskipun pengaruh budaya Majapahit juga disebutkan masuk dalam tradisi lokal.

Ada legenda di pulau-pulau ini yang menceritakan tentang orang-orang Jawa yang pergi dari tempat tinggal mereka setelah masa hukuman Majapahit dan mendapat tempat di daerah yang mereka datangi seperti Flores, Alor, Pantar, Sawu, dan pulau-pulau lain.

Masyarakat Indonesia Timur Laut lainnya juga memiliki hubungan tradisi yang kuat tentang benda atau praktik spiritual dengan kerajaan Jawa yang legendaris tersebut.

Kerajaan Gowa-Tallo

Sumber peninggalan penting dari India di Indonesia dapat ditemukan di Kerajaan Gowa-Tallo. Di Semenanjung barat daya Sulawesi terdapat situs arkeologi kuno yang menunjukkan hubungan panjang dengan dunia luar. Hubungan dagang yang luas yang memfasilitasi aliran arus India ke Sulawesi barat daya dan lebih jauh ke timur.

Sementara Gowa awalnya fokus pada pertanian dan tanah, orientasi Tallo adalah ke arah laut dan perdagangan. Perdagangan maritim yang berhasil di Tallo dikonsentrasikan dalam kronik-kronik Tallo.

Dalam sejarah dikatakan terjadi pernikahan antara pangeran Tallo dan seorang putri dari Siang, pendahulu Gowa-Tallo sebagai pengusaha terkemuka di Sulawesi barat daya. Putra yang lahir dari pernikahan ini kemudian mengambil seorang wanita Surabaya sebagai istrinya.

Surabaya adalah pelabuhan Majapahit yang penting di ujung timur Jawa yang menjadi pusat perdagangan internasional. Para penguasa Tallo dikatakan melakukan kunjungan terhadap kawan-kawan mereka di luar negeri seperti suku Barat dan suku India di daratan (Flores), Banda, dan Nusa Tenggara (Nusa Tenggara).

Gajah dan Simbolisme

India tanpa diragukan memiliki salah satu legenda dan ritual paling luas dan kompleks di dunia tentang gajah, dan banyak dari kepercayaan ini ditransmisikan ke Asia Tenggara selama periode Indianisasi pada milenium pertama dan setengah dari Era Umum.

Kekuatan gajah yang sangat besar dan luar biasa dianggap menguntungkan masyarakat, dimana gajah mampu dijadikan sebagai senjata yang tangguh dan memicu teror dalam perang.

Di bawah Kesultanan Mughal di India abad keenam belas dan ketujuh belas, unit gajah merupakan inti dari pasukan kaisar. Di Siam, seorang utusan Perancis pada tahun 1687 mengamati bahwa gajah dibentuk menjadi pasukan utama.

Beberapa orang Siam mengklaim bahwa penguasa memiliki sekitar 10.000 gajah, dan bahwa setidaknya tiga orang dipercayakan untuk merawat satu gajah. Gajah tersebut dikaitkan dengan kekuatan dan keagungan para penguasa.

Dalam Veda India, gajah digambarkan sebagai simbol kekuasaan kerajaan. Seorang cendekiawan mengatakan bahwa Indra, dewa utama di Gunung Meru yang suci, tempat tinggal para dewa, “sama seperti gajah”.

Ini adalah gagasan yang kemudian dipertahankan dalam dewa berkepala gajah, Ganesha, dan bahkan meluas ke legenda Buddhis, ketika gajah putih menjadi pertanda lahirnya Buddha. Di banyak himne India, gajah dipuji berada di level raja, dan “dengan demikian gajah harus dilindungi seperti kehidupan raja”. Legenda satu pihak bahkan menyatakan bahwa “tidak satu pun dari keduanya mengalahkan yang lain, gajah mempunyai porsi sama dengan raja.

Sementara gajah adalah hewan yang dihormati, mengapa gading menjadi objek yang sangat diperhatikan?

Satu jawaban sederhana terletak pada nilai komersialnya dimana gading dijadikan ukiran ornamen dan gelang yang ditemukan di pasar-pasar dunia termasuk India, Asia Tenggara, dan China. Namun mengenai keseluruhan gading gajah, itu merupakan sumber kesuburan dan otoritas. Keutuhan gading, salah satu fitur paling menonjol dari gajah, datang untuk mewakili binatang itu sendiri sebagai simbol kekuatan dan kekuatan gaib.

Di Museum Istana Suan Pakkad dan Museum Nasional Bangkok di Thailand terdapat gajah-gajah kerajaan yang dianggap sebagai peninggalan suci, hewan yang dihormati di India dan Asia Tenggara.

Dalam beberapa praktek menuangkan cairan di atas gading gajah memiliki makna atau simbol sebagai kekuatan “gaib” dimana cairan tersebut kemudian mengalir ke tanah, memberikan kesuburan terhadap tanah tersebut. Tindakan menuangkan air di atas gading gajah juga dimaksudkan untuk menyucikan air dan dengan demikian menjadikannya obat yang efektif melawan penyakit.

Thailand dan Burma

Thailand dan Burma adalah dua sumber utama gading gajah. Selama pemerintahan Raja Narai dari Siam (1656–1688), gajah liar ditemukan berlimpah di dataran tengah, dan bahkan di akhir abad kesembilan kawanan gajah berkeliaran di daerah yang hanya berjarak 20 hingga 30 mil dari ibukota Bangkok.

VOC adalah perantara utama dalam perdagangan gajah, menerima rata-rata gading gajah tahunan antara 10.000-12.000 pon. 4500–5500 kg gading di tahun 1650-an, dan antara 15.000-20.000 pon. 6800–9000 kg pada tahun 1660-an.

Dalam sumber, Belanda mencatat bahwa gading muncul secara teratur sebagai barang dagang, pada kapal dagang lokal yang membawa komoditas lain di laut Indonesia bagian timur( Flores-Lamaholot) dimana taring gajah adalah objek yang sangat berharga sebagai mas kawin.

Peran Gading Gajah dalam masyarakat di Indonesia Timur

Wanita di Asia Tenggara memainkan peran penting dalam membangun dan memperkuat aliansi dengan keluarga berpengaruh lainnya melalui perkawinan.

Di antara suku Lamaholot di pulau Solor, Adonara, dan Lembata, serta di antara orang Sikka dan orang-orang di kepulauan Tanimbar dan Aru di Maluku selatan, menentukan pengantin perempuan yang sesuai, masih merupakan tujuan penting dalam negosiasi perkawinan.

Gading gajah secara tradisional menjadi benda yang paling berharga di derah-daerah tersebut. Di masa lalu, ketidakmampuan keluarga laki-laki atau kelompok sosial untuk menyediakan gading yang diperlukan biasanya mengakibatkan pembatalan pertunangan.

Karena alasan ini, kadang dicari jalan keluar agar pernikahan tetap terjadi dengan cara menggantikan mas kawin dari gading gajah di tukar dengan dengan cengkeh, pala, bunga pala, dan kayu lapis.

Pada saat itu dikatakan pedagang dari negara-negara kepulauan dan Makasar muncul secara tidak teratur di pasar utama Indonesia timur yang berlokasi di pusat kota Solor, Alor, dan Aru.

Nilai perempuan Lamaholot, yang mencerminkan status kelompok, ditampilkan secara resmi dalam jumlah dan ukuran gading gajah yang disajikan. Dimana dikatakan semakin tinggi status kelompok yang diutus oleh mempelai wanita, semakin besar jumlah dan ukuran gading yang diminta.

Nilai material Gading

Beberapa indikasi nilai material gading ditemukan dalam catatan Belanda abad ke-19, dimana gading gajah meiliki kesetaraan nilai dengan budak atau senapan putar kecil atau gong besar, gading berukuran sedang sama dengan dua lempengan emas atau dua sarung merah atau gong kecil.

Perkawinan adalah alasan utama dari perdagangan gading gajah di Indonesia bagian timur, dan peran penting mereka dalam masyarakat tertentu menjadikannya objek yang sangat penting dalam berbagai transaksi.

Setiap kali ada perang di antara dua divisi utama Lamaholot, Paji dan Demong, salah satu barang yang digunakan untuk menebus tahanan adalah gading gajah.

Dalam sebuah episode dari abad ketujuh belas, perdamaian antara Portugis dan Lamahala, sebuah pemukiman di pulau Adonara, dimana Lamahala akan memberikan kepada Portugal 19 potong kain patola India sebagai imbalan atas hadiah gading gajah yang akan diberikan Portugal. Perjanjian itu tidak pernah ditegakkan karena kegagalan Portugis untuk menyediakan gading gajah.

Begitu dihormatinya gading gajah ini, sehingga setiap transaksi yang melibatkan benda-benda ini ditandai dengan beberapa pesta. Dalam satu kasus khusus adalah rekonsiliasi dua keluarga yang bertikai pada tahun 1986, yang diresmikan dengan bergabungnya nama keluarga mereka dan pertukaran gading gajah.

Seorang antropolog menyarankan bahwa perkawinan antar kelompok yang menghargai benda yang berbeda dapat menimbulkan masalah. Dia memberi contoh dengan mengatakan bahwa seorang pria dari alor, dia memiliki moko atau durm perunggu kecil, adalah persyaratan dalam pengantin perempuan, akan menghadapi kesulitan karena ia harus mendapatkan gajah gading untuk menikahi seorang wanita dari Solor.

Maka pada saat itu munculah pembentukan federasi “Watan Lema” Solor Watan Lema (Lima Wilayah Pesisir Solor) adalah untuk menyelesaikan masalah perbedaan persyaratan.

Dalam tradisi-tradisi kuno menceritakan terdapat banyak gading di Solor bahkan dikatakan kapal-kapal dayung mereka dibuat dari gading.

Kepulauan Tanimbar

Belanda adalah pemasok utama gading gajah ke kepulauan Tanimbar pada abad ke delapan belas, dan orang-orang di pulau Fordata pada pertengahan abad terakhir menceritakan kisah-kisah tentang mendapatkan gading gajah dengan imbalan ambar. Ketika seseorang meninggal di Aru, penting untuk mengirim orang yang sudah meninggal ke dunia lain dengan harta duniawinya, termasuk gading gajah, yang dirusak, dihancurkan sebagai tanda berkabung.

Penghancuran gading memiliki kaitan dengan praktik di India kuno, di mana para janda pada kematian suami mereka menghancurkan gelang gading yang diberikan kepada mereka pada saat pertunangan atau pernikahan.

Moko Alor

Alor pada abad-abad sebelumnya merupakan tempat redistribusi utama untuk perdagangan budak dan rempah-rempah di Nusa Tenggara Timur. Sumber Belanda abad ketujuh belas secara eksplisit menyebutkan bahwa Angkatan Darat Belanda sering berpergian kesana. Tetapi disebutkan perdagangan ke Alor terjadi bahkan sebelumnya ada tradisi rakyat yang menyebutkan peran Majapahit dalam pendirian beberapa klan di pulau itu.

Pada abad keenam belas dan ketujuh belas, orang Makassar, Bugis, dan Suku Bajau melakukan perdagangan ke Alor.

Moko Alor, dikatakan berawal pada masa-masa awal perdagangan dari perantara Tiongkok atau Melayu dengan hubungan langsung ke tempat produksi aslinya di Vietnam utara atau China barat daya.

Banyak sekali moko ditemukan di Alor. Alor bahkan saat ini dikenal sebagai Pulau Seribu Moko.

Kettledrum besar telah ditemukan tersebar dari Tiongkok Selatan ke Papua Timur, dan pembuatannya berasal dari Vietnam Utara. Periode ini dikenal sebagai Long Phonase dan ditandai dengan adanya drum perunggu, pemakaman berstatus tinggi, dan besi.

Pada tahun 1902 Franz Heger mengklasifikasikan drum Asia Tenggara dan China Selatan, yang dikenal pada saat ini dengan wilayah dan sinkronisasi, ke dalam Hegertipe. Terdapat variasi sekuens dalam klasifikasi berdasarkan geografi, bentuk, dekorasi, dan fungsi.

Sebuah studi oleh Ambra Calò menunjukkan bahwa ada dua rute terpisah dan kronologi yang berbeda dalam distribusi drum perunggu dari Vietnam dan China. Argumen Calò didasarkan pada sejumlah fitur tersebar di Salayar, Alor, Rote, tengah, tenggara, dan barat daya Pasifik Maluku, dan Pasifik Barat.

Fitur-fitur tertentu yang patut diperhatikan terkait dengan kelompok drum khusus ini adalah: (1) Semuanya kebetulan terdiri dari hanya satu atau sepasang drum, dengan pengecualian Sangeang, yang memiliki tujuh, tetapi tidak ada yang memiliki konteks; (2) banyak ditemukan dalam upacara adat; (3) semua berisi fitur dekoratif yang unik (4) semuanya memiliki empat katak. Beberapa drum menggambarkan beberapa katak yang ditumpuk satu di atas yang lain dalam kopulasi, pose.

Cara drum dipukul mengingatkan akan gemuruh guntur, yang mendahului hujan. Orang-orang di tanah Sangeang mempercayai bahwa katak tiga dimensi yang diletakkan di sekitar tympanum memiliki kualitas magis yang akan membawa dan memastikan kesuburan tanah.

Beberapa masyarakat membedakan drum ini dalam dua jenis. Drum ‘jantan’ yang membawa katak dan drum ‘wanita’ yang tidak memiliki katak, sehingga dengan jelas mengaitkan drum tersebut dengan kesuburan.

Moko datang memainkan peran ritual dan sosial yang penting di pulau Alor dan Pantar. Pulau-pulau kecil ini mengukur fakta bahwa mereka adalah satu-satunya masyarakat yang membutuhkan moko dalam perkawinan mereka.

Pada awal abad ke dua puluh ada mayoritas di pulau ini mengggunakan moko dalam versi kuningan yang dibuat di Jawa. Nilai-nilai mereka bergantung pada, sejarah, nilai eksperimental, dan kekuatan spiritual.

Ada dua jenismoko pada saat ini:

Moko tana (moko bumi) dan moko baru (moko baru). Mokotana lebih dihormati, moko baru memiliki karakter mereka sendiri dan didekorasikan dengan cara mereka sendiri.

Beberapa orang di Alor mengaku dapat membedakan mokotana dan moko baru lewati permukaannya. Moko masuk dalam upacara pada abad kedua puluh dalam pesta khusus, dan dimainkan sebagai iringan untuk menari.

Daftar Pustaka

Leonard Yuzon Andaya University of Hawai‘i, Manoa (The Social Value of Elephant Tusks and Bronze Drums among Certain Societies in Eastern Indonesia)

1.Timpani, atau kettledrum, adalah alat musik dalam keluarga perkusi. Sejenis drum, alat musik tersebut terdiri dari sebuah kulit yang disebut sebagai kepala yang dipakaikan di atas sebuah mangkok besar yang secara tradisional terbuat dari tembaga.

2.Kekaisaran Mughal adalah sebuah negara yang pada masa jayanya memerintah Afganistan, Balochistan, dan sebagian besar anak benua India antara 1526 dan 1857. Kekaisaran ini didirikan oleh pemimpin Mongol, Barbur, pada tahun 1526, ketika dia mengalahkan Ibrahim Lodi, Sultan Delhi terakhir dalam Pertempuran Panipat I.

3.Gong nekara adalah gong perunggu buatan kebudayaan Dong Son, yang terdapat di delta Sungai Merah Vietnam Utara. Gong ini diproduksi pada sekitar 600 tahun sebelum masehi atau sebelumnya, sampai abad ketiga Masehi.

4.Siam adalah negara yang paling kuat di Indocina dan negara lama Thailand terbesar termasuk negara-negara pengikutnya yaitu Kamboja, Lanna, Laos, Pegu & bagian Malaysia. Kerajaan ini dibentuk oleh Dinasti Phra Raung dan berlangsung hingga 1932.

#Sekilas Tentang Sejarah Gading Gajah Dan Moko Yang Menempati Posisi Penting Di Flores Timur Dan Alor

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.